Recent Posts

Laman

2/17/2011

Hak Kebudayaan di Indonesia

Oleh: Miranda Risang Ayu, Penulis adalah esais, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Kandidat Doktor di Law Faculty, University of Technology Sydney, Australia.

Perumusan undang-undang hak kekayaan intelektual masih dianggap individualistik. Apa kelemahan dan kekuatannya?

Hak Kebudayaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi sebuah instrumen hukum internasional di bidang Hak Asasi Manusia, yakni Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR). Pasal Hak Kebudayaan dalam kovenan itu adalah Pasal 15, yang menyatakan bahwa Negara mengakui hak setiap orang untuk ambil bagian dalam kehidupan budaya, menikmati hasil kemajuan ilmu dan aplikasinya, serta mendapat keuntungan dari perlindungan atas kepentingan moral dan material dari produk-produk keilmuan, kesusasteraan, dan kesenian yang merupakan hasil karyanya. Dalam perkembangannya, Hak Kebudayaan sering dikaitkan dengan Pasal 27 Kovenan International Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) tentang perlindungan hak kelompok minoritas etnis, religius, dan kebahasaan. Meski pun demikian, Hak Kebudayaan pada dasarnya adalah hak asasi setiap orang.
Selain itu, secara logis, obyek dari Hak Kebudayaan mestilah Kekayaan Budaya. Dalam konteks ini, hak-hak yang khusus melindungi kepentingan moral dan material seseorang atas produk budaya hasil karyanya dapat dinisbatkan kepada Hak Kekayaan Intelektual. Sejauh ini, Hak-Hak Kekayaan Intelektual sendiri meliputi Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman, Tata-Letak Sirkuit Terpadu dan Indikasi Geografis.
Secara sederhana, hak dapat diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan kewajiban pihak lain untuk memenuhinya. Namun, menurut Sarkar, hak bisa juga berarti kebebasan, kekuasaan atau kekebalan. Dari berbagai aliran pemikiran, pengertian Hak Asasi Manusia yang paling kena adalah hak yang tanpanya seseorang tidak akan sepenuhnya menjadi manusia.
Menyitir Utrech, hukum sendiri sebetulnya adalah sebuah fenomena sosial, yakni sebagai satu sistem kaidah di samping kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan. Namun, yang membedakan kaidah hukum dari kaidah-kaidah lainnya itu adalah bahwa hukum memiliki sanksi yang bisa dipaksakan dari luar. Tingkat kekerasan sanksi ini tentu saja ditentukan oleh para pembuat hukum dan proses peradilan.
Untuk apa hukum itu ada? Ini pun sebuah pertanyaan filosofis yang tidak pernah tuntas dijawab selama ratusan tahun. Tetapi, pada intinya, semua orang tentu tahu bahwa hukum itu ada untuk menjamin keadilan. Keadilan ini sendiri memiliki dua wajah, yakni kepastian hukum dan pemenuhan rasa-keadilan. Kepastian hukum dianggap penting agar masyarakat tidak dibingungkan oleh hukum yang kontradiktif atau tidak jelas. Namun, kepastian hukum yang kebablasan seringkali menjadikan hukum terlalu formalistik, anti perubahan, dan pukul rata terhadap kesalahan yang berakar dari struktur ekonomi atau sosial yang berbeda. Karenanya, pemenuhan rasa keadilan adalah penyeimbang angkuhnya kepastian hukum.
Rasa-keadilan sendiri adalah elemen dinamis dalam masyarakat. Masyarakatlah, dan bukan pihak penguasa, yang menjadi pemangku utama rasa-keadilan. Friedrich Karl von Savigny dan Sir Henry Maine bahkan menekankan bahwa hak-hak pada dasarnya adalah sebuah fungsi dari kebudayaan dan lingkungan yang unik pada tiap-tiap kelompok masyarakat. Singkatnya, hakikat hak berada di arus bawah.
Yang menjadi masalah di Indonesia sekarang adalah karena Hak-Hak Kekayaan Intelektual, yang merupakan salah satu aspek pelindung kekayaan budaya, hanya ada secara formal tetapi belum efektif memenuhi rasa-keadilan masyarakat. Beberapa ahli telah mengkritisi bahwa Hak Kekayaan Intelektual yang kini berlaku terlalu bercorak individualistik, materialistik, dan tertulis. Banyak kepemilikan kekayaan budaya di negara-negara seperti Indonesia yang kolektivistik, spiritualistik-simbolistik dan bertradisi oral, jadi seperti hilang di hadapan kaca mata hukum. Kekayaan budaya itu pun lantas terpaksa harus menjadi milik bersama seluruh umat manusia, kendati pun kelompok masyarakat lokal pemangkunya masih ada dan tergantung kepadanya.
Namun, analisis atas dasar dikotomi individualistik-kolektivistik, materialistik-spiritualistik simbolik, dan tertulis-tak tertulis, juga punya kelemahan. Di negara-negara Barat yang konon individualistik pun, sebutlah misalnya Prancis atau Yunani yang memiliki tradisi budaya yang panjang, kepemilikan kolektif terhadap kekayaan intelektual punya akar kuat. Contohnya, kepemilikan kolektif atas anggur putih Champagne di Champagne Perancis, anggur merah Coonawarra di Coonawarra-Penola Australia, atau keju Feta di Yunani. Demikian pula, di negara yang menjunjung tinggi kolektivisme seperti Republik Sosialis Vietnam, hak-hak individu atas karya-karya intelektual pun telah dipandang perlu untuk dilindungi. Di Indonesia yang lumayan kolektif, ketidakefektifan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap karya individu, umpamanya Sam Bimbo atau Nyoman Gunarsa, mestinya mengusik ulu hati banyak orang.
Karenanya, Hak Kekayaan Budaya harus dirumuskan secara hati-hati. Pertama-tama, hak itu mestilah dipahami sebagai bentuk dari perlindungan Hak Kebudayaan dalam kerangka Hak Asasi Manusia. Sebagai hak yang bersifat asasi, Hak Kebudayaan menjadi kewajiban pihak Pemerintah untuk segera mengambil langkah positif. Pemerintah tidak bisa menunda atau berkelit, misalnya dengan alasan bahwa hak itu kurang penting atau anggarannya belum ada.
Kedua, Hak Kekayaan Budaya merupakan induk dari Hak Kekayaan Intelektual, dan bukan sebaliknya. Konsekuensinya, kaidah hukum lain harus juga ditegakkan dalam suatu kesatuan sistem perlindungan terhadap kekayaan budaya. Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya, Keanekaragaman Hayati, ketentuan mengenai Hukum Adat, hingga kemungkinan perlindungan Pengetahuan Tradisional dalam rezim hukum khusus (sui generis), adalah beberapa contoh.
Ketiga, dalam sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual sendiri, terdapat berbagai macam perlindungan yang tidak bisa dipukul rata. Rezim Hak Cipta dan Paten misalnya, lebih cenderung kepada kepemilikan individual dengan keterbatasan jangka waktu perlindungan, sebagai tipikal hak-hak Barat modern. Tetapi, Hak Varietas Tanaman dilatarbelakangi oleh komitmen untuk menghargai kreativitas petani tradisional. Dalam Hak Merek, terdapat juga pengakuan atas Merek Kolektif yang perlindungannya dapat diperbarui terus tiap sepuluh tahun. Selain itu, Indikasi Geografis merupakan salah satu rezim Hak Kekayaan Intelektual yang kepemilikannya justru bersifat kolektif dengan jangka waktu pemilikan yang menerus. Singkatnya, pemahaman terhadap detail-detail perlindungan juga harus ditingkatkan.
Keempat, penyikapan Hak Kekayaan Budaya sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia harus juga meliputi Pendekatan Berbasis Hak (Rights-Based Approach). Dalam pendekatan ini, proses pembentukan hingga penegakan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan publik harus berpihak kepada kelompok masyarakat pemangku hak yang paling terkena dampak sekaligus paling tidak memiliki posisi tawar secara ekonomi-politik dalam perlindungan kekayaan budaya terkait. Perlindungan ini harus memberkuat dan bukannya melemahkan mereka.
Sampai di sini, hak tentu menjadi sesuatu yang berat. Bukankah sebagus apa pun suatu hak diatur oleh hukum, hak itu tidak akan banyak artinya, jika masyarakat pemangkunya sendiri tidak punya cukup pengetahuan, jaringan sosial, dan strategi pemberdayaan yang kuat untuk mengoptimalkan penggunaan hak tersebut? Sudah punyakah masyarakat kita?

0 komentar:

Video Seni Budaya

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites