Lintas Peradaban Melayu Minangkabau
Seorang teman saya perwira tinggi purnawirawan TNI paham betul akan minat saya dalam 20 tahun terakhir mengkaji kebudayaan-kebudayaan lokal.
Lewat SMS ia menyampaikan undangan “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, 19 September 2010. Malam itu cukup besar minat pengunjung, termasuk beberapa pengamat budaya yang berasal dari luar Minangkabau.
Dari sedikit tambo Minang yang saya baca, diinformasikan tentang ketibaan keturunan Iskandar Zulkarnain di ranah Minang yang langsung menuju Gunung Marapi. Ini informasi dari sumber tradisional yang sangat penting, mengusik kesadaran saya tentang toponim di Sumatra Barat. Misalnya Agam yang dalam bahasa Asia Barat kuna berarti lembah, lalu Ngarai Sianok yang dalam bahasa yang sama berarti gadis kecil, si Anok.
Lewat SMS ia menyampaikan undangan “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, 19 September 2010. Malam itu cukup besar minat pengunjung, termasuk beberapa pengamat budaya yang berasal dari luar Minangkabau.
Dari sedikit tambo Minang yang saya baca, diinformasikan tentang ketibaan keturunan Iskandar Zulkarnain di ranah Minang yang langsung menuju Gunung Marapi. Ini informasi dari sumber tradisional yang sangat penting, mengusik kesadaran saya tentang toponim di Sumatra Barat. Misalnya Agam yang dalam bahasa Asia Barat kuna berarti lembah, lalu Ngarai Sianok yang dalam bahasa yang sama berarti gadis kecil, si Anok.
Seringkali saya tercenung mendengarkan rabab Pesisir Syamsudin yang melantunkan suara dengan pesona sensasi “alam lain”, begitu juga dengan pupuik tanduak. Lagu yang dimainkan rabab pesisir banyak sekali kedekatannya dengan musik archaic, kuna, Egypt. Pupuik tanduak di Minangkabau dimainkan dengan nada pentatonik oleh seniman tempatan Saripudin Sutan Marajo, sedangkan bangsa-bangsa di Laut Mediterean dengan satu nada saja.
Intro Tari Pasambahan yang membuka malam “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” dengan delapan penari yang berjalan masuk panggung dengan menyamping sambil tangannya bersusun jari, pastilah snapshot ini mengingatkan kita pada ornamen Egypt di atas papyrus.
Tiba-tiba saya terlempar ke lorong waktu 3.000 tahun silam ketika mendengar Almuhanis bernyanyi dengan sikap duduk persis dewi kecantikan Egypt Nephthys. Posisi duduk seperti ini dalam beberapa kebudayaan lokal seperti Betawi, Sunda, dan Jawa adalah untuk menyanyikan lagu pusaka. Almuhanis menyanyikan lagu pusaka dengan timbre archaic, warna suara kuna. Ia menutup setiap gurindam dengan invocabulary sound, kata tanpa makna, aha ai aha ai. Ini hanya saya temukan dalam hymn, lagu ritual, Egypt. Invocabulary sound itu diucapkan sebagai penutup doa dalam Egypt, nefer-ubenf, bukalah pintu sorga. Untuk ritual yang sakral ini memang posisi duduk harus seperti Dewi Nephthys, yang dalam bahasa Betawi duduk seperti itu disebut mok. Dengan duduk seperti ini lazimnya seluruh aura kecantikan perempuan akan bersimburat ke sekitarnya.
Tidak mudah menyanyi separti Almuhanis dengan warna suara archaic. Ini bukan falsetto, suara palsu, seperti yang kita kenal dalam lagu ritual bangsa-bangsa Polynesia. Dan semua lagu-lagu klasik Minang tampaknya harus dilantunkan dengan timbre suara archaic.
Di dalam banyak kebudayaan lokal, setahu saya penyanyi-penyanyi lagu-lagu pusaka biasanya berumur di atas 40-an tahun. Diperlukan kematangan suara untuk menyanyikan lagu pusaka. Sedangkan Almuhanis masih sangat muda dan punya kemampuan seperti itu, maka kepada penyair Taufiq Ismail saya katakan, Almuhanis penyanyi terbesar Nusantara saat ini. Ini tidak berlebihan. Ia merupakan salah satu tali sambung kita dengan peradaban Nusantara ribuan tahun lampau.
Tabuik berasal dari tabut yang dalam bahasa aslinya di Asia Barat bermakna peti kayu tempat menyimpan kitab suci. Upacara tabut aslinya arak-arakan dengan membunyikan gandang, atau dalam bahasa asalnya disebut kadur, dan bunyi-bunyian kaleng, yang dalam bahasa asalnya disebut katar.
Tiga orang penabuh gandang memukul kulit gandang dan kohkol, penguat gandang, dan badan gandang. Cara memukul seperti ini dikenal di Betawi dalam seni memukul bedug. Tetapi ritme pukulan tampaknya berbeda dengan apa yang dilakukan di Jawa. Bahkan jauh berbeda dengan apa yang dilakukan bangsa-bangsa Polynesia.
Terus terang, ritme pukulan gandang grup ISI tersebut juga berbeda dengan segala jenis pukulan gendang di seluruh Asia Barat dan Egypt. Walau pun gerakan ketiga penabuh itu mengingatkan kita pada gerakan-gerakan Polynesia.
Yang ingin saya katakan, meski ribuan tahun yang lalu orang Mnangkabau telah berhadapan dengan bangsa-bangsa yang berperadaban sangat tinggi seperi Egypt dan Asia Barat, mereka tidak kehilangan jati dirinya. Pukulan gandang itu adalah pukulan Minangkabau, yang tidak ada persamaannya di tempat lain, sejauh kajian saya tentang musik perkusi.
Hal ini sejalan dengan kajian seorang pasca sarjana Universitas Andalas tentang ragam hias tattoo Mentawai yang memperlihatkan ketinggian mutu dan usianya dibanding dengan tattoo Egypt. Hal serupa terjadi pada pupuik tanduak. Ini menunjukkan pada kita di masa lampau, dalam hal interaksi budaya kita tidak menempastkan diri sebagai konsumen belaka, tetapi juga produsen. Sejarah peradaban Melayu Minangkabau mengajarkan pada kita bahwa kita mempunyai integritas yang kuat sebagai bangsa.
Sriwijaya
Bangunan zigurate yang terdapat di Portibi, Padang Sidempuan, dan Muaro Takus, Jambi, adalah bukti arkheologis yang tak terbantahkan adanya hubungan bangsa proto Melayu di sekitar Tapanuli Selatan, Sumatra Barat, dan Jambi dengan intinya Minangkabau dengan bangsa-bangsa Asia barat dan Egypt.
Zigurate adalah hasil peradaban Mesopotamia dari zaman 4000 tahun yang lampau. Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun Yang Lalu, Kepustakaan Populer Gramedia, menyatakan adanya hubungan perdagangan penguasa dan masyarakat Barus dan Minangkabau dengan pedagang-pedagang Asia Barat dan Egypt di masa lampau. Komoditas yang diperdagangkan adalah barus, cendana, menyan, dan mas Rejang.
Perdagangan ini sangat maju hingga sekitar abad V M ketika berdiri kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bangsa India Utara yang memeluk agama Budha ini menaklukkan kekuasaan-kekuasaan lokal dan merebut perdagangannya. Sriwijaya menggunakan jasa perantara Tiongkok, kekuasaan yang sudah lama mengincar bisnis di Sumatera dan berminat sebagai pedagang perantara tetapi ditolak oleh kerajaan-kerajaan lokal.
Sumatra, morfologi Latino-Hebrew, tanah yang terpuji, selama 700 tahun di bawah genggaman kekuasaan asing yang datang dari India Utara. Kekuasaan ini musnah karena serangan dari luar yang datang dari Bangladesh. Dinamika Sumatera sesudahnya bergeser ke pantai timur.
Suatu historische vraag, pertanyaan sejarah, selama 700 tahun Sriwijaya menggagahi Sumatra, mengapa tidak seorangpun orang Sumatera yang beragama Budha? Pertanyaan ini tentu tak perlu dijawab melainkan disimpulkan saja bahwa terjadi disengagment antara penduduk Sumatera dengan kekuasaan Sriwijaya yang beragama Budha. Tetapi kiitab-kitab “wajib” sejarah Indonesia mengatakan bahwa sejarah negeri ini bermula dari berdirinya kerajaan Hindu Taramunagara dan kerajaan Budha Sriwijaya. Yang dijadikan parameter jaman sejarah adalah digunakannya inskripsi. Padahal script, tulisan, di masa lampau berbentuk pictograph. Tidak sedikit pictograph yang terdapat dalam bangunan-bangunan lama di Sumatera, seperti situs Muaro Sabak, Jambi. Dan tattoo sesungguhnya pictograph.
Malam “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” membuktikan keberhasilan masyarakat Minangkabau menjaga dan mewariskan peradaban yang sudah melintas waktu sedikitnya 3.000 tahun. Ini tidak akan terjadi jika masyarakat Minangkabau tidak mencintai kebudayaannya. Ribuan tahun pelbagai sistem kekuasaan asing telah menerpa ranah Minang mulai dari Sriwijaya hingga Belanda, tetapi kebudayaan Minangkabau sebagai unsur penting kebudayaan Indonesia tetap terpelihara. Dalam bahasa metafora orang Minangkabau, Singgalang jo Marapi nan manjago. (*)
Intro Tari Pasambahan yang membuka malam “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” dengan delapan penari yang berjalan masuk panggung dengan menyamping sambil tangannya bersusun jari, pastilah snapshot ini mengingatkan kita pada ornamen Egypt di atas papyrus.
Tiba-tiba saya terlempar ke lorong waktu 3.000 tahun silam ketika mendengar Almuhanis bernyanyi dengan sikap duduk persis dewi kecantikan Egypt Nephthys. Posisi duduk seperti ini dalam beberapa kebudayaan lokal seperti Betawi, Sunda, dan Jawa adalah untuk menyanyikan lagu pusaka. Almuhanis menyanyikan lagu pusaka dengan timbre archaic, warna suara kuna. Ia menutup setiap gurindam dengan invocabulary sound, kata tanpa makna, aha ai aha ai. Ini hanya saya temukan dalam hymn, lagu ritual, Egypt. Invocabulary sound itu diucapkan sebagai penutup doa dalam Egypt, nefer-ubenf, bukalah pintu sorga. Untuk ritual yang sakral ini memang posisi duduk harus seperti Dewi Nephthys, yang dalam bahasa Betawi duduk seperti itu disebut mok. Dengan duduk seperti ini lazimnya seluruh aura kecantikan perempuan akan bersimburat ke sekitarnya.
Tidak mudah menyanyi separti Almuhanis dengan warna suara archaic. Ini bukan falsetto, suara palsu, seperti yang kita kenal dalam lagu ritual bangsa-bangsa Polynesia. Dan semua lagu-lagu klasik Minang tampaknya harus dilantunkan dengan timbre suara archaic.
Di dalam banyak kebudayaan lokal, setahu saya penyanyi-penyanyi lagu-lagu pusaka biasanya berumur di atas 40-an tahun. Diperlukan kematangan suara untuk menyanyikan lagu pusaka. Sedangkan Almuhanis masih sangat muda dan punya kemampuan seperti itu, maka kepada penyair Taufiq Ismail saya katakan, Almuhanis penyanyi terbesar Nusantara saat ini. Ini tidak berlebihan. Ia merupakan salah satu tali sambung kita dengan peradaban Nusantara ribuan tahun lampau.
Tabuik berasal dari tabut yang dalam bahasa aslinya di Asia Barat bermakna peti kayu tempat menyimpan kitab suci. Upacara tabut aslinya arak-arakan dengan membunyikan gandang, atau dalam bahasa asalnya disebut kadur, dan bunyi-bunyian kaleng, yang dalam bahasa asalnya disebut katar.
Tiga orang penabuh gandang memukul kulit gandang dan kohkol, penguat gandang, dan badan gandang. Cara memukul seperti ini dikenal di Betawi dalam seni memukul bedug. Tetapi ritme pukulan tampaknya berbeda dengan apa yang dilakukan di Jawa. Bahkan jauh berbeda dengan apa yang dilakukan bangsa-bangsa Polynesia.
Terus terang, ritme pukulan gandang grup ISI tersebut juga berbeda dengan segala jenis pukulan gendang di seluruh Asia Barat dan Egypt. Walau pun gerakan ketiga penabuh itu mengingatkan kita pada gerakan-gerakan Polynesia.
Yang ingin saya katakan, meski ribuan tahun yang lalu orang Mnangkabau telah berhadapan dengan bangsa-bangsa yang berperadaban sangat tinggi seperi Egypt dan Asia Barat, mereka tidak kehilangan jati dirinya. Pukulan gandang itu adalah pukulan Minangkabau, yang tidak ada persamaannya di tempat lain, sejauh kajian saya tentang musik perkusi.
Hal ini sejalan dengan kajian seorang pasca sarjana Universitas Andalas tentang ragam hias tattoo Mentawai yang memperlihatkan ketinggian mutu dan usianya dibanding dengan tattoo Egypt. Hal serupa terjadi pada pupuik tanduak. Ini menunjukkan pada kita di masa lampau, dalam hal interaksi budaya kita tidak menempastkan diri sebagai konsumen belaka, tetapi juga produsen. Sejarah peradaban Melayu Minangkabau mengajarkan pada kita bahwa kita mempunyai integritas yang kuat sebagai bangsa.
Sriwijaya
Bangunan zigurate yang terdapat di Portibi, Padang Sidempuan, dan Muaro Takus, Jambi, adalah bukti arkheologis yang tak terbantahkan adanya hubungan bangsa proto Melayu di sekitar Tapanuli Selatan, Sumatra Barat, dan Jambi dengan intinya Minangkabau dengan bangsa-bangsa Asia barat dan Egypt.
Zigurate adalah hasil peradaban Mesopotamia dari zaman 4000 tahun yang lampau. Claude Guillot dalam Barus Seribu Tahun Yang Lalu, Kepustakaan Populer Gramedia, menyatakan adanya hubungan perdagangan penguasa dan masyarakat Barus dan Minangkabau dengan pedagang-pedagang Asia Barat dan Egypt di masa lampau. Komoditas yang diperdagangkan adalah barus, cendana, menyan, dan mas Rejang.
Perdagangan ini sangat maju hingga sekitar abad V M ketika berdiri kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bangsa India Utara yang memeluk agama Budha ini menaklukkan kekuasaan-kekuasaan lokal dan merebut perdagangannya. Sriwijaya menggunakan jasa perantara Tiongkok, kekuasaan yang sudah lama mengincar bisnis di Sumatera dan berminat sebagai pedagang perantara tetapi ditolak oleh kerajaan-kerajaan lokal.
Sumatra, morfologi Latino-Hebrew, tanah yang terpuji, selama 700 tahun di bawah genggaman kekuasaan asing yang datang dari India Utara. Kekuasaan ini musnah karena serangan dari luar yang datang dari Bangladesh. Dinamika Sumatera sesudahnya bergeser ke pantai timur.
Suatu historische vraag, pertanyaan sejarah, selama 700 tahun Sriwijaya menggagahi Sumatra, mengapa tidak seorangpun orang Sumatera yang beragama Budha? Pertanyaan ini tentu tak perlu dijawab melainkan disimpulkan saja bahwa terjadi disengagment antara penduduk Sumatera dengan kekuasaan Sriwijaya yang beragama Budha. Tetapi kiitab-kitab “wajib” sejarah Indonesia mengatakan bahwa sejarah negeri ini bermula dari berdirinya kerajaan Hindu Taramunagara dan kerajaan Budha Sriwijaya. Yang dijadikan parameter jaman sejarah adalah digunakannya inskripsi. Padahal script, tulisan, di masa lampau berbentuk pictograph. Tidak sedikit pictograph yang terdapat dalam bangunan-bangunan lama di Sumatera, seperti situs Muaro Sabak, Jambi. Dan tattoo sesungguhnya pictograph.
Malam “Melayu Minangkabau dalam Melintas Waktu” membuktikan keberhasilan masyarakat Minangkabau menjaga dan mewariskan peradaban yang sudah melintas waktu sedikitnya 3.000 tahun. Ini tidak akan terjadi jika masyarakat Minangkabau tidak mencintai kebudayaannya. Ribuan tahun pelbagai sistem kekuasaan asing telah menerpa ranah Minang mulai dari Sriwijaya hingga Belanda, tetapi kebudayaan Minangkabau sebagai unsur penting kebudayaan Indonesia tetap terpelihara. Dalam bahasa metafora orang Minangkabau, Singgalang jo Marapi nan manjago. (*)
0 komentar:
Posting Komentar