Oleh: Rithaony Hutajulu, Etnomusikolog, pengajar di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan.
Bagi masyarakat Toba, uang dalam upacara perkawinan tidak semata-mata berdimensi ekonomis namun lebih merupakan sebuah ritus sosial. Uang menjadi simbol exchange antara kedua belah pihak.
Bagi masyarakat Toba, uang dalam upacara perkawinan tidak semata-mata berdimensi ekonomis namun lebih merupakan sebuah ritus sosial. Uang menjadi simbol exchange antara kedua belah pihak.
Masyarakat Batak Toba—yang secara tradisional bermukim di wilayah provinsi Sumatera Utara—merupakan masyarakat yang patrilineal, di mana garis keturunan ditelusur lewat sistem klan yang disebut marga. Keseluruhan marga yang ada saling berhubungan, dan meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Hubungan sosial marga diatur dalam dalihan natolu (harfiah: "tiga tungku"), yakni sebuah struktur kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan tiga pilar: hula-hula (pihak pemberi istri), boru (pihak penerima istri), dan dongan sabutuha (saudara seibu). Dalam setiap upacara adat kita dapat melihat bagaimana peran serta hubungan relasional dari ketiga pihak tersebut terhadap individu atau keluarga yang mengadakan upacara (suhut) tercermin.
Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah. Benda-benda ritual yang sering dipakai dalam tradisi upacara adat perkawinan Toba—sebagai sebuah proses transaksional—adalah beras, ulos (selendang tenunan khas Batak), daun sirih, jambar (daging) dan uang. Tiap individu yang menghadiri satu upacara harus mengerti status serta perannya, hal ini terkait dengan benda-benda ritual apa yang harus dibawanya dan yang akan diterimanya dalam upacara tersebut. Dengan kata lain, perkawinan merupakan sistem transaksi tukar menukar (exchange) yang mana hal ini ditandai dengan tradisi tuhor (artinya: "membeli"), yakni semacam prasyarat pemberian mahar dari pihak laki-laki. Selanjutnya, bagaimana peran uang dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba?
Tidak begitu jelas kapan uang dalam upacara di tengah masyarakat Batak Toba menjadi begitu penting, yang pasti dewasa ini fenomena uang semakin sangat eksplisit ditampilkan. Kita bisa melihat bagaimana peran uang menjadi ekspresi simbolis dari upacara ritual perkawinan Batak Toba; mulai dari proses peminangan, pertunangan hingga pada ritual adat perkawinan. Pentingnya kehadiran uang tercermin dari berbagai peristilahan yang dijumpai dalam upacara, seperti sinamot atau tuhor, upa, tumpak, olop-olop, tintin marangkup, ingot-ingot, dan lainnya. Kesemua istilah tersebut digunakan untuk menyebutkan pendistribusian uang terkait dengan fungsi dan makna tertentu di dalam upacara.
Simbol Prestise dan Ikatan Kekerabatan
Di masyarakat Batak Toba, sinamot ("harta" atau "emas"), yang pada saat ini lebih sering disebut dengan istilah tuhor ("beli"), adalah semacam pemberian mahar yang diberikan dalam bentuk uang, diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai penanda transaksi sebuah perkawinan. Jumlah pemberian tuhor umumnya bergantung pada kemampuan pihak keluarga laki-laki serta status sosial pihak keluarga perempuan di tengah masyarakat. Dalam acara peminangan (marhusip) penetapan jumlah sinamot ini diperoleh melalui sebuah proses negosiasi yang alot; negosiasi ini dipimpin oleh masing-masing juru bicara (raja parhata) dari kedua belah pihak di mana hadir seluruh unsur dalihan natolu dari kedua belah pihak. Dalam acara marhusip ini, biasanya prestise sosial dipertandingkan yang berakhir pada sebesar apa tuhor diberikan. Umumnya juga pihak perempuan akan mempertahankan setinggi-tingginya angka nominal mahar yang akan diberikan; ini bermakna selain menaikkan prestise sosial si gadis, dan juga mereka.
Distribusi uang mahar di dalam perkawinan adat Batak juga relatif rumit, terutama dalam hal pembagian yang detil kepada sejumlah pihak perempuan yang dianggap berhak atas mahar tersebut. Yang mendapatkan bagian (jambar) mahar ini terbagi dalam beberapa kelompok, di antaranya suhi ampang na opat yang meliputi: upa suhut untuk seluruh pihak keluarga perempuan, upa tulang untuk saudara laki-laki ibu dari pengantin perempuan, upa pamarai untuk saudara laki-laki dari ayah pengantin perempuan, upa todoan untuk seluruh saudara lelaki dan sepupu lelaki dari ayah pengantin, upa pariban untuk saudara perempuan dari pengantin perempuan. Di samping itu uang mahar dibagikan kepada tingkatan kekerabatan yang ditelusuri dari tiga generasi seperti keluarga kakek dari pengantin perempuan.
Pemberian ulos dari pihak pemberi istri (hula-hula) merupakan hal yang penting dalam upacara perkawinan. Ulos akan dikembangkan atau diselimutkan kepada pengantin dan suhut (pihak keluarga pria dan wanita) sebagai pertanda berkat (pasu-pasu). Pihak hula-hula ini dalam konsep pertalian kekerabatan Batak Toba diyakini memiliki posisi yang tinggi dan harus dihormati karena melaluinyalah berkat dari Tuhan disampaikan. Semakin banyak pihak hula-hula (baik yang dekat maupun yang jauh) mangulosi (melakukan ritual pemberian ulos) diyakini semakin banyak berkat yang diperoleh. Dalam proses pemberian ulos ini pihak keluarga kedua pengantin akan membalas dengan menyiapkan uang yang disebut olop-olop yang diberikan kepada pihak pemberi ulos segera setelah ulos diselimutkan. Olop-olop di sini berarti ekspresi kegembiraan dan rasa hormat terhadap pihak hula-hula.
Dalam konsep pernikahan masyarakat Batak Toba, menikahi putri dari saudara lelaki ibu (matrilateral cross-cousin marriage) adalah pernikahan yang dianggap ideal. Dalam konsep adat Batak Toba, saudara laki-laki ibulah yang paling berhak menjadi mertua dari seorang pria. Tintin marangkup merupakan satu dari rangkaian upacara perkawinan yang merupakan perhomatan sekaligus meminta ijin kepada tulang (saudara lelaki ibu) dari pengantin pria jika pengantin perempuan yang dipersunting bukanlah putri kandung dari pamannya tersebut. Acara ini disimbolisasikan melalui penyerahan uang, beras dan sirih yang diletakkan di atas piring oleh kedua pihak pengantin saudara lelaki ibu pengantin pria. Ini merupakan ekspresi rasa hormat dan semacam pengesahan bahwa pengantin perempuan telah menjadi putri dari paman pengantin pria tersebut.
Simbol Partisipasi Sosial
Tumpak adalah uang yang diberikan oleh keluarga dari pihak laki-laki, kecuali dari tulang dan hula-hula (pihak keluarga ibu). Makna dan fungsi uang tumpak disini adalah simbol partisipasi keluarga laki-laki yang akan meminang calon istri atau "melamar" istri yang tentu saja memerlukan uang.
Pada saat berlangsungnya upacara adat perkawinan, uang tumpak juga diberikan para undangan adat khususnya sesama orang Batak Toba yang terdiri dari kelompok sosial marga, lingkungan sosial, atau teman dalam satu afiliasi kebaktian gereja. Uang tumpak dimasukkan oleh para undangan adat yang hadir ke dalam wadah yang disebut sambong. Namun tidak semuanya para undangan adat ini memberikan uang tumpak, hanya yang memiliki posisi sebagai anak boru terhadap suhut (keluarga pihak laki-laki dan perempuan yang sedang mengadakan upacara), yang berkedudukan sebagai hula-hula akan memberikan ulos dan beras, sedangkan yang berposisi sebagai dongan tubu akan memberikan beras.
Uang tumpak secara ekonomis, diharapkan akan mengurangi biaya upacara. Yang menarik adalah bahwa uang tumpak selalu menjadi hak dari pihak keluarga laki-laki, tidak peduli apakah yang mengadakan pesta pihak perempuan atau pihak keluarga laki-laki, khususnya orang tua dari pengantin laki-laki. Namun, sebelum diserahkan kepada pihak pengantin pria, pengantin perempuan akan diberi kesempatan satu atau tiga kali mengambil sebanyak mungkin uang yang bisa ia genggam dan kemudian menyerahkannya kepada suaminya. Ritual ini merupakan simbol kasih sayang dari ibu mertua kepada menantu perempuan agar dikemudian hari menantu perempuannya ini mudah mendapatkan rezeki semudah "uang yang diraup" dari wadah keranjang.
Selain berfungsi sebagai alat tukar-menukar, uang juga menjadi alat untuk mengekspresikan kebersamaan dan sharing yang dalam istilah Batak Toba disebut dengan jambar hepeng. Walaupun biasanya jumlahnya tidak terlalu berarti, namun keluarga pihak laki-laki dan perempuan harus memastikan bahwa semua pihak yang terkait mulai dari proses awal hingga selesai mendapat uang. Misalnya, ingot-ingot dan upa manggabei untuk yang seluruh yang hadir diacara pelamaran; upa manise, uang dari pihak laki-laki untuk pihak perempuan yang telah menanyakan maksud dan tujuan dalam mengawali upacara; upa domu-domu, uang dari kedua belah pihak untuk juru bicara atau mediator masing dalam proses negosiasi; olop-olop ni huta, dari pihak pria untuk seluruh warga dari kampung perempuan yang telah memeriahkan upacara, serta sejumlah istilah dan kriteria lainnya.
Penutup
Bagi masyarakat Toba dewasa ini, uang dalam upacara adat perkawinan tidak semata-mata berdimensi ekonomis namun lebih merupakan sebuah ritus sosial. Uang menjadi simbol exchange antara kedua belah pihak, menjembatani pertalian adat dan silsilah, ungkapan partisipasi, tanggung jawab, rasa hormat, kasih sayang, prestise dari masing-masing individu dan pihak-pihak yang terlibat. Seperti pengakuan Marsius Sitohang, seorang pemusik yang sering terlibat dalam mengiringi upacara adat perkawinan Batak Toba, "Uang berhamburan sepertinya tidak ada artinya pada saat upacara, demi untuk menunjukkan hamoraon (kekayaan), hasangapon (prestise/kehormatan) dan hagabeon (kebanggaan/panutan) yang selalu menjadi cita-cita orang Batak. Uang menjadi ukuran untuk menggambarkan semua itu!"
Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Batak Toba menganut konsep bahwa sebuah ikatan perkawinan merupakan penyatuan dua set dari unsur dalihan na tolu dari dua keluarga luas individu yang akan menikah. Benda-benda ritual yang sering dipakai dalam tradisi upacara adat perkawinan Toba—sebagai sebuah proses transaksional—adalah beras, ulos (selendang tenunan khas Batak), daun sirih, jambar (daging) dan uang. Tiap individu yang menghadiri satu upacara harus mengerti status serta perannya, hal ini terkait dengan benda-benda ritual apa yang harus dibawanya dan yang akan diterimanya dalam upacara tersebut. Dengan kata lain, perkawinan merupakan sistem transaksi tukar menukar (exchange) yang mana hal ini ditandai dengan tradisi tuhor (artinya: "membeli"), yakni semacam prasyarat pemberian mahar dari pihak laki-laki. Selanjutnya, bagaimana peran uang dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba?
Tidak begitu jelas kapan uang dalam upacara di tengah masyarakat Batak Toba menjadi begitu penting, yang pasti dewasa ini fenomena uang semakin sangat eksplisit ditampilkan. Kita bisa melihat bagaimana peran uang menjadi ekspresi simbolis dari upacara ritual perkawinan Batak Toba; mulai dari proses peminangan, pertunangan hingga pada ritual adat perkawinan. Pentingnya kehadiran uang tercermin dari berbagai peristilahan yang dijumpai dalam upacara, seperti sinamot atau tuhor, upa, tumpak, olop-olop, tintin marangkup, ingot-ingot, dan lainnya. Kesemua istilah tersebut digunakan untuk menyebutkan pendistribusian uang terkait dengan fungsi dan makna tertentu di dalam upacara.
Simbol Prestise dan Ikatan Kekerabatan
Di masyarakat Batak Toba, sinamot ("harta" atau "emas"), yang pada saat ini lebih sering disebut dengan istilah tuhor ("beli"), adalah semacam pemberian mahar yang diberikan dalam bentuk uang, diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai penanda transaksi sebuah perkawinan. Jumlah pemberian tuhor umumnya bergantung pada kemampuan pihak keluarga laki-laki serta status sosial pihak keluarga perempuan di tengah masyarakat. Dalam acara peminangan (marhusip) penetapan jumlah sinamot ini diperoleh melalui sebuah proses negosiasi yang alot; negosiasi ini dipimpin oleh masing-masing juru bicara (raja parhata) dari kedua belah pihak di mana hadir seluruh unsur dalihan natolu dari kedua belah pihak. Dalam acara marhusip ini, biasanya prestise sosial dipertandingkan yang berakhir pada sebesar apa tuhor diberikan. Umumnya juga pihak perempuan akan mempertahankan setinggi-tingginya angka nominal mahar yang akan diberikan; ini bermakna selain menaikkan prestise sosial si gadis, dan juga mereka.
Distribusi uang mahar di dalam perkawinan adat Batak juga relatif rumit, terutama dalam hal pembagian yang detil kepada sejumlah pihak perempuan yang dianggap berhak atas mahar tersebut. Yang mendapatkan bagian (jambar) mahar ini terbagi dalam beberapa kelompok, di antaranya suhi ampang na opat yang meliputi: upa suhut untuk seluruh pihak keluarga perempuan, upa tulang untuk saudara laki-laki ibu dari pengantin perempuan, upa pamarai untuk saudara laki-laki dari ayah pengantin perempuan, upa todoan untuk seluruh saudara lelaki dan sepupu lelaki dari ayah pengantin, upa pariban untuk saudara perempuan dari pengantin perempuan. Di samping itu uang mahar dibagikan kepada tingkatan kekerabatan yang ditelusuri dari tiga generasi seperti keluarga kakek dari pengantin perempuan.
Pemberian ulos dari pihak pemberi istri (hula-hula) merupakan hal yang penting dalam upacara perkawinan. Ulos akan dikembangkan atau diselimutkan kepada pengantin dan suhut (pihak keluarga pria dan wanita) sebagai pertanda berkat (pasu-pasu). Pihak hula-hula ini dalam konsep pertalian kekerabatan Batak Toba diyakini memiliki posisi yang tinggi dan harus dihormati karena melaluinyalah berkat dari Tuhan disampaikan. Semakin banyak pihak hula-hula (baik yang dekat maupun yang jauh) mangulosi (melakukan ritual pemberian ulos) diyakini semakin banyak berkat yang diperoleh. Dalam proses pemberian ulos ini pihak keluarga kedua pengantin akan membalas dengan menyiapkan uang yang disebut olop-olop yang diberikan kepada pihak pemberi ulos segera setelah ulos diselimutkan. Olop-olop di sini berarti ekspresi kegembiraan dan rasa hormat terhadap pihak hula-hula.
Dalam konsep pernikahan masyarakat Batak Toba, menikahi putri dari saudara lelaki ibu (matrilateral cross-cousin marriage) adalah pernikahan yang dianggap ideal. Dalam konsep adat Batak Toba, saudara laki-laki ibulah yang paling berhak menjadi mertua dari seorang pria. Tintin marangkup merupakan satu dari rangkaian upacara perkawinan yang merupakan perhomatan sekaligus meminta ijin kepada tulang (saudara lelaki ibu) dari pengantin pria jika pengantin perempuan yang dipersunting bukanlah putri kandung dari pamannya tersebut. Acara ini disimbolisasikan melalui penyerahan uang, beras dan sirih yang diletakkan di atas piring oleh kedua pihak pengantin saudara lelaki ibu pengantin pria. Ini merupakan ekspresi rasa hormat dan semacam pengesahan bahwa pengantin perempuan telah menjadi putri dari paman pengantin pria tersebut.
Simbol Partisipasi Sosial
Tumpak adalah uang yang diberikan oleh keluarga dari pihak laki-laki, kecuali dari tulang dan hula-hula (pihak keluarga ibu). Makna dan fungsi uang tumpak disini adalah simbol partisipasi keluarga laki-laki yang akan meminang calon istri atau "melamar" istri yang tentu saja memerlukan uang.
Pada saat berlangsungnya upacara adat perkawinan, uang tumpak juga diberikan para undangan adat khususnya sesama orang Batak Toba yang terdiri dari kelompok sosial marga, lingkungan sosial, atau teman dalam satu afiliasi kebaktian gereja. Uang tumpak dimasukkan oleh para undangan adat yang hadir ke dalam wadah yang disebut sambong. Namun tidak semuanya para undangan adat ini memberikan uang tumpak, hanya yang memiliki posisi sebagai anak boru terhadap suhut (keluarga pihak laki-laki dan perempuan yang sedang mengadakan upacara), yang berkedudukan sebagai hula-hula akan memberikan ulos dan beras, sedangkan yang berposisi sebagai dongan tubu akan memberikan beras.
Uang tumpak secara ekonomis, diharapkan akan mengurangi biaya upacara. Yang menarik adalah bahwa uang tumpak selalu menjadi hak dari pihak keluarga laki-laki, tidak peduli apakah yang mengadakan pesta pihak perempuan atau pihak keluarga laki-laki, khususnya orang tua dari pengantin laki-laki. Namun, sebelum diserahkan kepada pihak pengantin pria, pengantin perempuan akan diberi kesempatan satu atau tiga kali mengambil sebanyak mungkin uang yang bisa ia genggam dan kemudian menyerahkannya kepada suaminya. Ritual ini merupakan simbol kasih sayang dari ibu mertua kepada menantu perempuan agar dikemudian hari menantu perempuannya ini mudah mendapatkan rezeki semudah "uang yang diraup" dari wadah keranjang.
Selain berfungsi sebagai alat tukar-menukar, uang juga menjadi alat untuk mengekspresikan kebersamaan dan sharing yang dalam istilah Batak Toba disebut dengan jambar hepeng. Walaupun biasanya jumlahnya tidak terlalu berarti, namun keluarga pihak laki-laki dan perempuan harus memastikan bahwa semua pihak yang terkait mulai dari proses awal hingga selesai mendapat uang. Misalnya, ingot-ingot dan upa manggabei untuk yang seluruh yang hadir diacara pelamaran; upa manise, uang dari pihak laki-laki untuk pihak perempuan yang telah menanyakan maksud dan tujuan dalam mengawali upacara; upa domu-domu, uang dari kedua belah pihak untuk juru bicara atau mediator masing dalam proses negosiasi; olop-olop ni huta, dari pihak pria untuk seluruh warga dari kampung perempuan yang telah memeriahkan upacara, serta sejumlah istilah dan kriteria lainnya.
Penutup
Bagi masyarakat Toba dewasa ini, uang dalam upacara adat perkawinan tidak semata-mata berdimensi ekonomis namun lebih merupakan sebuah ritus sosial. Uang menjadi simbol exchange antara kedua belah pihak, menjembatani pertalian adat dan silsilah, ungkapan partisipasi, tanggung jawab, rasa hormat, kasih sayang, prestise dari masing-masing individu dan pihak-pihak yang terlibat. Seperti pengakuan Marsius Sitohang, seorang pemusik yang sering terlibat dalam mengiringi upacara adat perkawinan Batak Toba, "Uang berhamburan sepertinya tidak ada artinya pada saat upacara, demi untuk menunjukkan hamoraon (kekayaan), hasangapon (prestise/kehormatan) dan hagabeon (kebanggaan/panutan) yang selalu menjadi cita-cita orang Batak. Uang menjadi ukuran untuk menggambarkan semua itu!"
0 komentar:
Posting Komentar