Oleh: Ediwar Chaniago
Kearifan budaya lokal terutama bidang kesenian tradisinal Minangkabau yang tersebar di pelbagai daerah atau nagari-nagari merupakan kekayaan bangsa yang hingga hari ini menjadi kebanggaan kita bersama. Kadang-kadang kita selalu membincangkan keagungan budaya masa lampau sebagai sesuatu yang ingin kita jemput kembali agar generasi yang ada dewasa ini dapat pula menikmatinya. Kenapa hal demikian bisa terjadi, karena para generasi yang pernah mengecapnya atau hidup pada masa kejayaan kesenian tradisional itu amat merasakan betapa nilai-nilai filosofi kebudayaan lokal menjadi bermanfaat bagi media pendidikan moral dan adat istiadat.
Merujuk kepada kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam adat istiadat Minangkabau, kesenian bagaikan ekspresi budaya yang bermanfaat sebagai media penyemarak suatu upacara adat istiadat. Di dalamnya terkandung nilai-nilai etika dan estetika dalam pembentukan keperibadian generasi. Kesenian pada masa lampau bukan hanya sebagai media hiburan dalam mengisi waktu senggang, tetapi lebih dari itu mengajak generasi untuk memiliki sikap terampil dan berpengetahuan dalam bidang kebudayaan tradisonal. Artinya, kehadiran seni tradisi itu bukan dirancang semata-mata untuk tontonan dan hiburan, melainkan sebagai perwujudan akan berbagai nilai-nilai budaya daerah. Pengolahannya berdasar pada cita-rasa masyarakat lingkungannya. Cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk “nilai kehidupan tradisi”, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan.
Ketika pendidikan formal belum mengalami perkembangan seperti adanya sekarang, wadah pendidikan atau tempat khusus untuk pelaksanaan pendidikan adat istiadat Minangkabau lebih banyak pada tradisi-tradisi lokal yang terungkap pada aktivitas kemasyarakatan (upacara-upacara adat) termasuk kesenian. Penyajian kaba, randai, pantun-pantun, pepatah-petitih, pasambahan, dan sebagainya merupakan jenis pertunjukan kebudayaan lokal yang mengandung nilai-nilai filosofi, adat istiadat, sosial budaya dan sebagainya. Sikap demikian itu dapat dijadikan pedoman dan pegangan masyarakat dalam menjalani kehidupan secara pribadi maupun bermasyarakat.
Barangkali masyarakat kita juga mengagungkan keberadaan sasaran dan surau sebagai tempat pendidikan tradisonal lokal masa lampau. Bukti nyata keagungan itu adalah munculnya kembali hendak ”mambangkik batang tarandam” dalam konsep kembali ke surau dan kembali ke nagari, serta menghidupkan sasaran. Konsep ini berarti nilai-nilai lama dan tradisional itu patut menjadi acuan bagi perkembangan kebudayaan Minangkabau pada era globalisasi. Walaupun sasaran, surau, dan nagari, pada hari ini sudah semakin tidak mendapat tempat dalam perkembangan kebudayaan Minangkabau, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya patut ditauladani. Artinya, kebudayaan lokal dan wacana kebudayaan global dapat berdampingan, mampu berkompetisi dengan pelbagai percaturan kesenian moderen.
Merujuk kepada fungsi sasaran, lebih difungsikan sebagai tempat mendidik generasi muda dalam bidang keterampilan beladiri dan adat pergaulan sebagai pembentukan moral keperibadian, rasa kebersamaan dan kegotongroyongan antara suatu dengan lainnya dalam masyarakat, sehingga mereka merasa bertanggung jawab untuk melestarikan budaya daerahnya sendiri. Sebagai pembentuk keperibadian, pada sasaran generasi muda dibentuk mental dan spirituilnya dalam perlebagai sopan santun, bak pepatah ” nan ketek disayangi, nan samo gadang bao lawan baiyo, nan tuo dihormati”.
Adat sopan santun di sasaran silat sesungguhnnya patut ditauladani hari ini. Coba saja kita menyaksikan kegiatan acara pelatihan silat, atau pertunjukan silat dimanapun saja, kita akan mendapati etika seorang pesilat bertemu sesama pesilat, atau dengan guru silat, tuo silat, dan sebagainya. Disini tidak akan dijumpai sebuah simbol kesombongan seorang pendekar. Mereka akan saling bersalaman dan hormat menghormati. Bertemu di gelanggang silat adalah sebuah silaturrahmi yang sangat dalam. Mereka bersatu dalam kebersamaan.
Salah satu contoh tingginya nilai-nilai budaya lokal yang perlu menjadi tauladan dalam kebudayaan global adalah pertemuan sarasehan silat tradisional Minangkabau tanggal 21-23 Desember 2008 di Genta Budaya Padang oleh Gelanggang Silih Berganti IPSI Sumatera Barat. Pada kesempatan ini hadir pesilat, tuo silat, pendekar, dan guru silat mewakili daerah-daerah Sumatera Barat lebih kurang diikuti 150 orang. Selain itu hadir juga PB IPSI Pusat, Ketua IPSI Sumbar, Walikota Padang, dan beberpa pejabat penting lainnya.
Sebelum silat dipergelarkan dari masing-masing perwakilan daerah, terlebih dahulu dilakukan sambah menyambah saling hormamti menghormati antara si alek jo sipangka. Ini adalah etika adat Minangkabau ”duduk surang basampik-sampik, duduk basamo balapang lapang, kato surang babulati, kato basamo bapaiyokan”. Sambah manyambah di sini dimaksudkan untuk mendapatkan persetujuan dari peserta menurut adat untuk memulai penampilan silat dari masing-masing utusan. Setelah mendapatkan kesepakatan dari si alek jo sipangkalan, ”kok bulek kato jo mufakat, bulek aia ka pambuluah” barulah silat dipersembahkan.
Telah menjadi etika dalam dunia persilatan, setiap pesilat yang hendak meragakan kepandaiannya, maka pesilat itu terlebih dahulu menghormati setiap tuo silat, guru silat, pendekar, dan semua hadirin yang hari itu semua berpakaian hitam-hitam. Caranya adalah dengan melakukan salaman/jabat tangan keliling. Tidak cukup cara demikian saja, selanjutnya pesilat juga melakukan hormat dalam gerak silatm kepada semua hadirian sebagai peratanda tidak lengkapnya semua hadirian berjabat tangan dalam bentuk salaman. Kemudian pesilat juga melakukan penghormatan kepada lawan silatnya yang tampil. Selanjutnya, akhir dari persilatan itu, kedua pesilat kembali melakukan penghormatan umum kepada hadirin atas penampilannya.
Pembicaraan di atas adalah sekelumit nilai-nilai esensial budaya lokal yang penuh kedalaman makna. Dalam dunia persilatan tidak akan terlihat sebuah kesombongan dan keangkuhan. Mereka selalu menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam satu wadah budaya alam Minangkabau. Amat janggal apabila seseorang yang berada di gelanggang persilatan, atau upacara yang terkait dengan aktivitas silat yang tidak memakai etika yang berlaku dalam sasaran. Mislanya, seorang pejabat akan melakukan sambuatan dihadapat para tuo silat, guru silat, pendekar yang tidak melakukan penghormatan gaya sasaran. Penghormatan gaya sasaran secara umum adalah mengangkat kedua tangan yang diarahkan kepada semua hadirin, dan ditutup dengan membawa telapak tangan ke arah muka. Penghormatan itu akan disambut oleh hadirin dengan mengangkat tangan persetujuan/pembalasan, dan juga diakhiri dengan menyapukan kedua telapak tangan ke mukanya masing-masing. Apabila seseorang tidak mampu menyesuakan diri dengan sopan santun gaya sasaran itu, akan terdapat kejanggalan adat sasaran di Minangkabau. Atau boleh juga dikatakan, adanya kekurangan yang dimiliki seseorang dalam menyesuaikan diri dalam dunia sasaran.
Dapat kita ambil contoh berikutnya pada salah satu upacara adat perkawinan, penganten laki-laki yang hendak diantar ke rumah penganten perempuan oleh keluarga dan kerabat-kerabat selalu menghadirkan suatu kesenian silat galombang yang diiringi dengan musik tambur ditingkah dengan talempong beserta untaian melodius pupuik batang padi. Pihak si pangkalan akan menanti pihak si alek dengan silat galombang dan sebaliknya pihak si alek juga membawakan silat galombang sebagai pernyataan mengantarkan penganten laki-laki. Pertemuan kedua penganten secara adat inilah memberikan gambaran akan sempurnanya masyarakat melaksanakan atau menegakkan adat seperti terungkap dalam mamangan adat berikut kalau alam alah takambang, marawa tampak takiba, aguang tampak tasangkuik, adaik badiri dinagari, silek jo tari ka bungonyo, talempong batingkah talu batalu, pupuik jo gandang ka gunjainyo.
Situasi demikian merupakan penggambaran ekspresi budaya dengan menonjolkan simbol-simbol kebudayaan lokal. Kemudian pihak sipangkalan akan menyuguhkan sirih dalam carano sebagai pernyataan hati yang suci muka jernih menerima kedatangan semua hadirin.
Hingga hari ini, Minangkabau (Sumatera Barat) masih memiliki keberagaman jenis kesenian tradisional yang mampu memberikan identitas kebudayaan Minangkabau. Selanjutnya, apabila kita merujuk kepada keagungan surau sebagai pusat pendidikan keislaman. Surau tidak hanya melahirkan generasi muda yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang ajaran Islam, tetapi suarau juga berpotensi sebagai produk kesenian tradisional bernuansa Islam. Hingga hari ini masih kita dapati jenis-jenis kesenian tradisional islami Minangkabau, seperti salawat dulang, barzanji, dikie rabano, indang, dan tradisi bahikayat. Jenis kesenian ini pada awalnya sebagai media dakwah bernilai pendidikan keagamaan. Penyajiannya ada yang menguraikan riwayat-riwayat nabi, sifat-sifat Tuhan,
Dalam perkembanghannya, kesenian surau juga menyampaikan perlbagai etika dan estetika adat Minangkabau. Syair-syair bernilai keagamaam sudah digabung dengan etiak dan estetika Minangkabau. Pertunjukan salawat dulang yang dilakukan di surau-surau tidak hanya sebagai pencari uang pembangunan mesjid, akan tetapi syair-syair yang disampaikan mengandung nilai agama Islam dan adat Minangkabau. Tukang salawat akan saling ”tanyo-batanyo” tentang pelbagai persoalan keagamaan dan adat istiadat yang berlaku, baik pada masa lampau maupun sekarang.
Sesuatu yang menarik dari kesenian ini adalah kemampuan tukang salawat dalam menyesuaikan diri dengan kebudayaan global. Perlbagai perkembangan budaya musik modern mereka adopsi ke dalam kesenian salawat dulang. Walaupun demikian, keutamaan fungsi salawat dulang sebagai media penyampaian ajaran agama Islam dan adat Minangkabau tidak digantikan dengan musik modern, akan tetapi mereka menggabungkan secara piawai seiring dengan selera dan citarasa keminangkabauan. Seorang tukang salawat yang tidak mengindahkan fungsi utamanya akan ditinggalkan oleh masyarakat. Artinya, tukang salawat yang lebih mengutamakan keduniawian (sekularisme) tidak akan dijemput oleh masyarakat golongan surau. Pembentukan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia (habluminallah, wahabluminannas) adalah ciri utama kesenian islami Minangkabau.
Barangkali masih banyak jenis kesenian tradisional Minangkabau sebagai bagian dari kebudayaan lokal yang masih hidup dan berkembang di nagari-nagari. Hanya saja tinggal bagaimana dari pelbagai pihak dapat membantu mengembangkannya, atau menghidupkannya kembali untuk menghadapi gejolak perkembangan kebudayaan global yang sudah merambah sampai ke pelosok nagari-nagari. Untuk selanjutnya, diharapkan masing-masing nagari mencangkan atau memotivasi agar kesenian tradisional tetap sebagai penyemarak nagari dalam menunjang aktivitas adat istiadat. Kemudian bagaimana pemerintah nagari tetap meghidupkan roh sasaran dan roh surau dalam pembentukan budi pekerti generasi muda hari ini dalam menatap dunia global.
Sumber [link]
0 komentar:
Posting Komentar